Pengisi Daya

Aku selalu bilang pada diriku sendiri, bahwa mencintaimu ini sebenarnya urusan mudah.  Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap berada d...

Posesif: Kelamnya Cinta Pertama

Saya tahu mungkin postingan ini naiknya sedikit terlambat agar bisa memprovokasi kalian untuk nonton film Posesif di bioskop. Ketika postingan ini diunggah, Posesif tersisa sedikit layar saja di kota saya. Belum lagi kalau besok digempur Justice League dan lusa dihadang oleh Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak. Jadi pesan saya, kalau film Posesif masih tayang di kotamu, sempatkanlah untuk nonton.


Pic: Twitter.com/PalariFilms


Film ini sudah mencuri perhatian saya sejak posternya seliweran di sosial media. Dua pelajar SMA yang tampak bahagia dengan tali sepatu yang saling terikat. Ikatan yang saya rasa cukup kuat untuk menggambarkan judulnya: Posesif.

Adipati Dolken memerankan Yudhis, sosok anak baru di sekolah Lala (Putri Marino). Hubungan asmara mereka berdua berjalan manis sampai Yudhis secara perlahan menunjukkan sikap posesif yang berujung abusive.

Edwin selaku sutradara mampu mengaduk emosi para penontonnya. Jika di awal film kita selalu dimanjakan dengan indahnya perjalanan cinta pertama Lala dan Yudhis, maka mulai di tengah film, cukup dengan satu adegan saja, Edwin mengungkap sisi lain Yudhis yang tidak terduga. Sejak itu, saya ngeri setiap Yudhis muncul di layar.

Bukan, bukan adegan yang ini, hehehe. Ada deh pokoknya. Pic: Twitter.com/PalariFilms

Secara visual, film ini disajikan dengan sangat indah. Pengambilan gambar underwater-nya memukau, warna-warna yang ditampilkan juga cantik dan menyegarkan mata. Akting dan soundtracknya layak diacungi jempol. Sedangkan dari segi cerita, harus diakui Posesif bukanlah sebuah film cinta remaja yang membuatmu nyaman.

Film ini dengan berani membukakan mata kita bahwa cinta pertama tidak selalu seindah kelihatannya. Posesif menyadarkan kita bahwa kekerasan dalam hubungan percintaan ini bisa dialami siapa saja, bahkan di usia yang sangat muda. Saya berharap film ini banyak ditonton oleh kalangan remaja agar semua bisa belajar bahwa kalimat klise "cuma aku yang bisa bikin dia bahagia" di masa pacaran itu banyakan bullshitnya daripada benernya.

Satu hal yang jarang dibahas setelah menonton Posesif adalah bahwa film ini juga menyentil tentang parenting. Lala dan Yudhis sama-sama dibesarkan oleh orang tua tunggal. Lala tumbuh dalam ambisi sang ayah yang menginginkan Lala menjadi atlet loncat indah seperti mendiang ibunya. Yudhis, ditinggalkan oleh ayahnya sejak kecil dan dibesarkan oleh sosok ibu yang tidak kalah ambisius. Sebagai orang tua tunggal, Posesif menjadi pengingat bagi saya bahwa anak adalah apa yang ditorehkan orang tuanya, namun tetap saja mereka punya kehidupan sendiri. Posesif juga mengingatkan saya bahwa jangan menciptakan suasana toxic di rumah kalau tidak mau anaknya menjadi toxic di tempat lain. Siklus kekerasan memang harus segera diputus, dalam bentuk hubungan apa pun.

Pada akhirnya, saya ingin berterima kasih pada Edwin, Gina S Noer (penulis naskah), dan semua pihak yang terlibat dalam film Posesif karena sudah menghadirkan film ini. Selamat atas 3 Piala Citra yang berhasil diboyong, semuanya well deserved!.